Bila kita senantiasa bersyukur, rasanya memang tak pernah ada yang kurang dari apa yang sudah disediakan Tuhan di bumi ini. Makanan, minuman dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh manusia, tak hanya banyak tapi juga gratis seluruhnya. Bila hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, maka seluruh logistik yang disediakan di alam ini tak akan pernah habis. Dalam kemurahan yang tersedia di alam, agaknya kita hanya diminta untuk membalasnya dengan tindakan jujur dan adil kepada alam. Tidak rakus, tidak tamak, tidak ceroboh, dan tidak malah culas pada alam yang sejak semula sudah begitu baiknya.
Tapi untuk adil memang tidak mudah. Jangankan pada yang lain, pada dirinya sendiri saja manusia sulit untuk membuktikan kesanggupannya untuk adil. Pada alasan itulah, mitos dan hikayat menjadi benar saat menjelaskan kisahnya tentang kerakusan manusia dibanding makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang semula alami terganti menjadi penuh rekayasa. Alam tak lagi seumpama ladang luas dengan kemudahan bahan pangan, sandang, dan papan. Alam telah menjadi ajang persengketaan manusia satu dengan manusia lainnya untuk kepentingan kekuasaan dirinya. Pikiran bukan lagi produk karunia yang patut untuk disyukuri, melainkan alat untuk memenangkan hasrat dan naluri purbanya demi untuk memenuhi kepentingan dirinya.
Corona kemudian datang meluluhlantakkan semuanya. Serupa kegaiban yang diutus Tuhan, virus Corona menjadi ancaman yang menebar dengan caranya yang dahsyat. Tak pernah manusia di berbagai penjuru bumi merasakan ketakutan yang sama seperti saat ini. Kalaupun musibah besar pernah terjadi, tak semua manusia dicekam oleh ketakutan serentak seperti saat ini. Apakah ini pertanda alam sedang ingin mengingatkan kepada manusia untuk tahu batas-batas kesemestian sebuah hubungan? Bila ketakutan menjadi simbol ketidakmampuan diri, maka inilah saatnya penghayatan harus dilakukan.
Maka ungkapan “Stay at Home” atau “Work from Home” serupa ajakan untuk menguatkan pesan penghayatan yang harus dilakukan oleh setiap orang. Dan oleh posisi berjarak dari keramaian itu, kita menjadi punya kesempatan untuk bertafakur, duduk dalam kebersediaan diri untuk sanggup menghayati apa yang menjadi kehendak alam.
Dalam ketakutan tubuh akan berupaya untuk mencari solusi bagi dirinya. Tubuh kita juga begitu. Ia membutuhkan tindakan untuk menjadi terapi terbaik agar diri bisa lebih tenang, tentram, dan nyaman. Tubuh dan pikiran yang tenang dan jauh dari keraguan, kecemasan dan ketakutan adalah buah dari persekutuan diri dengan sang Pencipta diri. Kenapa diri harus terus terjaga dan terawat dalam kesabaran dan kekhusyukan hubungan dalam cara berdoa, tidak lain karena hanya dengan sabar dan kesungguhan berdoa kita bisa keluar dari kemelut ketakutan.
Sebagaimana sinar matahari menjadi cahaya bagi kehidupan di bumi, tubuh kita juga harus kita latih sebermakna itu. Ketakutan tanpa alasan hanya akan membuat kita berjarak dengan kebaikan. Bila kebaikan adalah sinar yang akan membuat tubuh terus bercahaya, maka tubuh ini harus seumpama matahari. Memancar sebagai sebuah kebutuhan yang memenuhi pikiran siapa saja. Seperti matahari yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di jagat luas bernama kehidupan.
Kopajali-Mapak Indah, Kamis, 2 April 2020